Jangan Ambil, Sayang!
(Seluruh kisah adalah fiktif, dan hanya ilustrasi sebagai pengantar dalam tulisan).
Alkisah, hiduplah sepasang suami istri yang dikarunai seorang anak kecil yang bersekolah di sebuah sekolah dasar negeri di tengah kota Jakarta. Kehidupan perekonomian keluarga kecil tersebut sedang diuji, karena pengaruh dari Pandemi Covid yang melanda sejak tahun 2020. Sang suami, yang sehari-hari menjual masakan khas Betawi berupa nasi uduk, soto betawi dan asinan Jakarta sedang mengalami penurunan omset yang cukup signifikan dikarenakan menurunnya jumlah pengunjung yang mengunjungi kedai kecilnya yang terletak dipinggir jalan dekat sebuah pasar tradisional di daerah Jakarta Utara. Di tengah himpitan permasalahan ekonomi yang mendera, kebutuhan rumah tangga tetap harus dipenuhi. Uang seragam sekolah, kebutuhan sembako di rumah, bayar listrik, dan masih banyak lagi. Rasa putus asa perlahan menghinggapi sang suami, karena tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang harus dipikul untuk menghidupi keluarga kecilnya. Sampai pada suatu sore di saat sedang duduk termenung di warung kopi dekat rumahnya, datanglah seorang teman yang menawarkan pekerjaan “sampingan” yang cukup menjanjikan. “Hai bang, bengong aja, mau kerjaan oke gak? Gampang nih, banyak duitnya lagi. Lumayan, kan dagangan sedang sepi”, ujar sang kawan. “Abang paham kan dengan kartu untuk pelajar yang dikasih pemerintah buat dapat barang-barang pokok supaya anak-anak bisa makan daging, susu, beras, dan ada barang-barang lain juga, yang macam-macam itu lah bang. Ini ada sampingannya bang, yah ilegal dikit dikit aja bang. Jadi kartu itu bisa diakali supaya yang punya kartu bisa dapat uang tunai nya aja, karena ada juga nih bang yang bandel, maunya di duitin aja, padahal kaga boleh. Kita bantu itu bang. Nanti saya sediain mesinnya, abang cukup pasang tulisan aja di triplek, bunyinya, Terima Kartu Pelajar. Nanti di kedai abang, tinggal tambahin dikit barang-barang yang biasa dibeli anak sekolah pakai kartu itu, buat pajangan aja bang, bukan buat ditukar beneran. Nah yang pada dateng ke kedai abang itu nanti mau gesek kartunya tapi dituker sama duit bang. Kita kasih duitnya tapi nggak semuanya, kita potong lah buat fee kita. Lumayan bang, nanti kita bagi berdua. Mau ya bang?”, bujuk rayu sang kawan.
Di tempat yang lain, hiduplah pasangan eksekutif muda yang merupakan para pucuk pimpinan di dua perusahaan ternama, sang suami merupakan Direktur Utama dari sebuah perusahaan besar milik pemerintah, dan sang istri merupakan Direktur Bisnis dari sebuah bank swasta terkemuka di kota Jakarta. Berbeda dengan sang istri, lingkungan kerja sang suami acapkali memberikan peluang atau bisa juga disebut ancaman untuk terlibat, atau “terpaksa” terlibat dalam tindakan-tindakan yang dapat menguntungkan satu pihak, namun pasti merugikan pihak lain. Namun demikian, sang suami masih dapat menjaga diri dengan baik, sampai timbulnya suatu peristiwa yang akhirnya mengancam karir sang suami. “Mas, kinerja perusahaan ente merosot terus nih, sudah gak bisa lagi pakai alasan Covid, bisa-bisa posisi ente sebagai Dirut langsung digoyang loh sama kawan-kawan. Udah pada ribut nih. Tapi, kalau ente mau kerja sama, kita pasti masih bisa back up lah. Cuma ya itu, tolong dibantu atur pemenang project besar di tender perusahaan ente, yang sudah sering kita bahas. Inget loh Mas, nama calon pengganti ente udah di tangan yang di atas nih. Jangan lupa juga, rasa terima kasih nya nanti lumayan lah, buat ente sekeluarga healing ke Eropa”, ucap seseorang untuk yang kesekian kalinya. Rasa galau hebat melanda sang suami, berbagai pikiran berkecamuk di kepalanya. Bagaimana dia dapat menghadapi istri dan keluarga istri yang notebene merupakan salah satu keluarga ningrat terpandang, jika dia akhirnya harus dipecat dan kemudian menjadi jobless? Bagaimana mungkin seorang suami akhirnya harus menggantungkan hidupnya kepada istri karena dipecat dan tidak lagi dapat memberikan nafkah? Apakah mungkin dapat memiliki pekerjaan dalam waktu dekat di tengah kondisi bisnis yang masih gonjang ganjing akibat dampak Covid? Sebenarnya permintaan juga tidak terlalu susah, karena tender toh sedang berjalan, tinggal sedikit mengarahkan tim saja, beres. Belum lagi insentif yang didapat bisa mengajak anak istri jalan-jalan ke Eropa, yang rencananya sudah tertunda dua tahun ini, karena bonus tahunan dari kantor macet akibat kinerja perusahaan yang belum juga bisa bangkit karena pandemi. Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.
Kisah dua keluarga di atas merupakan refleksi dari apa yang terjadi di dalam masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai kelas sosial, yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Benang merah yang dapat ditarik dari segala perbedaan tersebut adalah bahwa di kondisi apapun, baik kaya atau miskin, kelas sosial tinggi atau rendah, setiap manusia memiliki dilema yang menuntut suatu keputusan atas pertanyaan “ambil atau tidak?”. Tentu saja mengambil yang bukan haknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan, baik secara moral, maupun secara hukum. Karena mengambil sesuatu yang bukan haknya akan berimplikasi pada hilangnya hak orang lain, atau dirugikannya pihak lain. Umumnya, perilaku-perilaku yang demikian disebut dengan perilaku koruptif.
Jika demikian, dapat dipahami bahwa ternyata korupsi yang dipicu oleh adanya perilaku koruptif, bukan hanya berpotensi dilakukan oleh para pejabat, pucuk pimpinan, tapi juga oleh masyarakat biasa, semua orang, dari berbagai kelas sosial yang bermacam-macam. Tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan perilaku koruptif, baik alasan kebutuhan hidup, maupun alasan intimidasi, atau bahkan ancaman.
Lantas, bagaimana menjawab dilema pelik tersebut? Jika boleh mengandaikan, apapun pilihan yang diambil akan berujung kepada perumpamaan simalakama, jika dipilih mati bapak, tidak dipilih mati emak. Apakah sungguh demikian?
Setelah kembali ke rumah, sang suami menyibukkan diri mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak untuk dijual di kedai keesokan harinya. Sang istri pun bertanya, “Apa yang sedang dipikirkan Pak, dari tadi kelihatannya mumet sekali”. Singkat cerita, dengan suara pelan, sang suami akhirnya memberanikan diri menceritakan dilema berat yang dihadapinya dan meminta saran dari sang istri, “Gimana bu, apa Bapak kerjakan saja ya yang diminta, lumayan buat pemasukan, jualan sedang benar-benar sepi”.
Di rumah yang lain, sang Direktur Utama akhirnya juga memutuskan bercerita kepada sang istri, untuk mencari pembenaran atas apa yang harus dilakukan. “Ma, sepertinya sudah tidak ada pilihan. Aku diancam, aku terintimidasi. Kinerja perusahaan sudah dua tahun ini memang terjun bebas, minggu ini juga posisiku bakal digoyang kalau tidak ikut permainan ini”.
Sebelum mengetahui apa jawaban yang sebaiknya diberikan oleh para istri dalam dilema yang dihadapi pasangannya pada dua kondisi yang berbeda di atas, ada baiknya mengenal lebih dalam apa saja nilai-nilai integritas yang dapat menjadi basis pertimbangan dalam menghindari perilaku koruptif.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merumuskan sembilan nilai integritas yang disingkat dalam sebuah kalimat pendek “Jumat Bersepeda KK”. Jujur merupakan nilai pertama yang tidak dapat ditawar, dalam membantengi diri dari perilaku koruptif. Mandiri merupakan nilai yang mencerminkan independensi dan kesiapan seseorang agar mampu berdiri sendiri menghadapi apapun untuk memastikan diri terhindar dari perilaku koruptif. Tanggung jawab adalah suatu nilai yang mencerminkan kemampuan ksatria seseorang dalam melaksanakan amanah yang diemban dengan memastikan seluruh sebab akibat yang timbul yang harus dipikul. Berani adalah nilai yang mencerminkan ketegasan, keberanian dalam menegakkan yang benar dan menjauhi yang bathil. Sederhana adalah suatu ciri hidup yang menunjukkan gaya hidup yang tidak berlebih-lebihan dan selalu merasa cukup dan bersyukur. Peduli merupakan nilai yang menunjukkan rasa kepedulian atas seluruh akibat yang mungkin terjadi dan berdampak bagi pihak lain atas apa yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri. Disiplin adalah suatu bentuk sikap yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan atas nilai-nilai yang dipegang, apapun yang terjadi. Adil adalah nilai integritas yang menjadi basis seseorang dalam memutuskan sesuatu apakah dampak yang timbul dari keputusan tersebut adil bagi semua pihak, menguntungkan semua pihak, atau hanya menguntungkan diri sendiri dan kelompok tertentu tapi merugikan pihak lain. Kerja keras merupakan nilai yang membentuk karakter seseorang agar senantiasa bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, sehingga memahami dengan baik bahwa apa yang patut diterima adalah hasil yang halal atas kerja keras yang dilakukan.
Hati perempuan, siapa yang tahu. Demikian ungkapan yang sering didengar saat membicarakan mahluk yang bernama perempuan. Di dua tempat yang berbeda, dua perempuan, dua istri, berpikir lama, sebelum akhirnya memberikan jawaban atas pertanyaan para suami.
“Pak, hidup kita memang sedang susah-susahnya. Tapi Pak, masih banyak yang harus kita syukuri. Ibu alhamdulillah masih sehat wal afiat, masih bisa bantu bantu bapak kerja cari-cari tambahan. Jangan Pak. Anak kita masih sekolah SD. Gimana ibu harus bantu ngajarin anak jawab PR pelajaran agama Islam tentang jadi jujur, kalau bapaknya gak jujur. Gimana ibu mau ngajarin anak kita sholat kalau bapaknya melanggar ketentuan Gusti Allah? Jangan Pak. Besok ibu akan mulai bantu bikin gorengan, nanti ibu titipkan di sekolah-sekolah deket rumah. Mudah-mudahan laris dan bisa buat tambah-tambah Pak. Ibu juga bisa dikit-dikit jualan online, InshaAllah nanti ada yang mau beli. Jangan Pak. Jangan ambil Pak”, lirih jawab sang istri.
“Pa, kita sudah prediksi segala kemungkinan buruk yang akan Papa hadapi saat memutuskan mengambil posisi ini dulu. Termasuk yang ini. Dan kita sudah punya jawabannya. Do you think I’ll let you go to the jail? Never! Don’t take it hun! Please don’t!”, tegas dan singkat ucapan sang istri kepada sang Direktur Utama.
Dua wanita yang berbeda, dari latar belakang yang berbeda, bisa memberikan jawaban yang kurang lebih sama. Jangan ambil Pak. Don’t take it hun. Jangan ambil sayang.
Apakah seluruh kisah akan berakhir sedemikian sempurna? Tentu saja tidak. Tapi selalu ada pilihan. Untuk kembali kepada nilai. Untuk berpegang teguh pada nilai-nilai integritas. Saling menguatkan, saling mendukung. Jadilah pasangan yang mampu dijadikan tempat berpegang. Jadilah pasangan yang selalu bisa hadir dalam setiap dilema seperti dalam kisah di atas, yang selalu dapat tegas menjawab, “Jangan ambil sayang!”.